HAKIKAT PERKAWINAN GEREJA KATOLIK (Tinjauan akan Kasus Pisah Ranjang dalam Perkawinan Gereja Katolik)

HAKIKAT PERKAWINAN GEREJA KATOLIK (Tinjauan akan Kasus Pisah Ranjang dalam Perkawinan Gereja Katolik)

HAKIKAT PERKAWINAN GEREJA KATOLIK (Tinjauan akan Kasus Pisah Ranjang dalam Perkawinan Gereja Katolik) Oleh : Fransisca Putri Andita Mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun Email: [email protected] ![PERKAWINAN TAK TERCERAIKAN TAPI BOLEH BERPISAH (?)](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/2RzAg61OfSsaM6JE9CZO5O/9449c4e6597622631e6df09163e13a20/images.png) ABSTRAK Hidup berkeluarga merupakan salah satu bentuk panggilan hidup dalam Gereja Katolik. Untuk menjadi keluarga Katolik, kedua mempelai hendaknya melangsungkan perkawinan secara Katolik di Gereja Katolik. Perkawinan Katolik menuntut kesatuan dari kedua mempelai baik secara badani maupun jiwa mereka, karena mereka tidak lagi dua melainkan satu dalam ikatan kudus. Perkawinan Katolik menjadi lambang dari cinta sejati Allah kepada manusia. Membina ikatan perkawinan Katolik tidaklah mudah, kadang oleh karena kelemahan manusia, manusia terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Perkawinan Katolik pada dasarnya tidak menghendaki untuk tindakan perceraian, namun terkadang salah satu pasangan terkadang tidak tahan atau tidak kuat menjalankan kehidupan bersama dalam ikatan perkawinan yang suci karena sering menahan atau korban dari tanggungan dosa salah satu atau keduanya. Jika dalam keadaan demikian, apakah boleh pangsangan Katolik melakukan perpisahan dalam ikatan perkawinan Katolik? Kata kunci : Perkawinan, Gereja Katolik, Unitas, Indisolubilitas, Perpisahan Hidup Perkawinan. PENDAHULUAN Gereja Katolik memiliki beberapa pilihan bentuk panggilan hidup. Selain menjadi kaum selibat atau tertahbis, hidup berkeluarga juga merupakan sebuah panggilan. Untuk bisa menjadi keluarga Katolik, terlebih dahulu haruslah melangsungkan perkawinan di Gereja Katolik, baik sesama Katolik, beda Gereja, maupun beda agama. Perkawinan yang berlangsung dalam Gereja Katolik menuntut kesatuan utuh suami-istri. Kesatuan tersebut bersifat tak terceraikan dan kesetiaan dari suami istri seumur hidup. Namun dalam kenyataan ada beberapa kasus yang dijumpai bahwa beberapa pasutri yang melakukan perceraian secara sipil atau memilih untuk pisah ranjang dengan pasangannya. Ada banyak fakfor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, mulai dari ekonomi, perselingkuhan, hingga kurangnya komunikasi yang kurang baik antara pasutri. Lalu bagaimana Gereja melihat permasalahan tersebut? Apakah dengan kasus tersebut, makna perkawinan dalam Gereja Katolik telah berubah dan tidak lagi berlaku bagi Gereja sendiri? Artikel ini dibuat untuk membahas tentang makna perkawinan dalam Gereja Katolik serta mengulas sedikit bagaimana Gereja melihat permasalahan yang terjadi dalam hidup berkeluarga, yang tidak jarang mengancam keberlangsungan dari perkawinan tersebut. ISI Bagaimana Perkawinan dalam Gereja Katolik? Pengertian perkawinan Katolik dapat ditemukan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kan. 1055 § 1 yang berbunyi, “Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup...” Perjanjian tersebut bukanlah seperti sebuah kontrak kerja yang dibuat dalam perkawinan tersebut, melainkan janji untuk sehidup semati seperti janji yang pasangan ucapkan di depan altar. Janji tersebut kurang lebih berbunyi, “Di hadapan imam dan para saksi, saya … menyatakan dengan tulus ikhlas, bahwa … yang hadir di sini sejak saat ini menjadi istri/suami saya. Saya berjanji akan tetap setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil Suci ini.” Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa janji yang diucapkan oleh mempelai bukanlah sebuah kontrak kerja atau kontrak kawin, maka pernikahan yang berlangsung dengan mengadakan pernjanjian lainnya, contoh perjanjiannya seperti membuat perjanjian bahwa kelak harus memiliki anak berjumlah 10, maka pernikahan tersebut tidaklah sah. Mengapa menjadi tidak sah? Karena manusia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi dimasa depan. Bagaimana jika pasangan tersebut hanya memiliki 5 anak atau bahkan tidak mempunyai anak sama sekali? Apakah mereka akan bercerai karena kenyataan tidak sesuai dengan janji yang telah mereka buat dimasa lampau, padahal Gereja Katolik sendiri menentang adanya perceraian? Maka pernikahan berdasarkan perjanjian yang menyangkut kehidupan masa depan tidaklah sah, dan hal ini diatur dalam KHK Kan. 1102 § 1. “Perkawinan tidak dapat dilangsungkan secara sah dengan syarat mengenai sesuatu yang akan datang.” Selain itu ada beberapa halangan yang menggagalkan perkawinan seperti impotensi, berada satu garis lurus dalam keturunan (contoh: kakek yang menikahi cucunya), berada di bawah tahbisan atau kaul kekal (imam dan kaum religius), serta halangan-halangan lainnya. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1604 dituliskan bahwa, “Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil dia (manusia) untuk mencinta, satu panggilan kodrati dan mendasar setiap manusia. Manusia telah diciptakan menurut citra Allah, yang sendirinya adalah cinta. Oleh karena Allah telah menciptakannya sebagai pria dan wanita, maka cinta di antara mereka menjadi gambar dari cinta yang tak tergoyangkan dan absolut, yang dengannya Allah mencintai manusia. Cinta ini di mata Pencipta adalah baik, bahkan sangat baik.” Perkawinan dalam Gereja Katolik dipandang sebagai lambang cinta Allah kepada manusia. Walau berkali-kali manusia berusaha menjauh dari Allah, melukai hati Allah, namun Allah tetap setia mencintai manusia. Hal ini digambarkan dalam kitab Hosea yang memperlihatkan Gomer (istri Hosea) berkali-kali berselingkuh, namun Hosea tetap mau menerima Gomer dan mencintainya. Maka perkawinan dalam Gereja Katolik, bukan sebuah kegiatan yang hanya memperlihatkan pasturi saja, melainkan menjadi lambang cinta Allah kepada manusia yang kekal. Oleh sebab itu, umat Katolik perlu mengetahui bahwa pernikahan dalam Gereja Katolik berciri unitas dan indisolubilitas. Apa itu unitas (kesatuan) dan indisolubilitas (tak terceraikan)? Istilah tersebut sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi umat Katolik, bahkan sudah menjadi kekhasan Gereja Katolik, sehingga umat di luar Gereja Katolik pun mengetahui bahwa pernikahan dalam Gereja Katolik itu satu dan tak terceraikan. Istilah tersebut dapat kita temukan dalam Katekismus Gereja Katolik no 1644 yang berbunyi, “Cinta suami isteri dari kodratnya menuntut kesatuan dan sifat yang tidak terceraikan dari persekutan pribadi mereka, yang mencakup seluruh hidup mereka: "mereka bukan lagi dua, melainkan satu" (Mat 19:6)”, dalam Dokumen Familiaris Consortio art 19 "Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam kesatuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji Perkawinannya untuk saling menyerahkan diri seutuhnya", dan dalam YOUCAT no 263 “Dengan unitas dan indisolubilitas adalah dasar utama untuk menentang poligami, yang secara kristiani dipandang sebagai pelanggaran dasar terhadap kasih dan hak asasi manusia ... kesetiaan perkawinan memerlukan kesediaan untuk memasuki kesatuan seumur hidup, yang tidak mencakup hubungan di luar perkawinan ...” Sebagaimana kesatuan yang dimaksud dalam perkawinan, bukan hanya kesatuan secara badani saja, melainkan kesatuan yang mengantar pada pembentukan satu hati dan satu jiwa, kesatuan tersebut mengandung sifat tak terceraikan dan kesetiaan yang terjadi dalam hubungan suami-istri, yang pada akhirnya terjadi timbal-balik dan terbuka pada kesuburan (terbuka pada kelahiran anak). Suami secara rela memberikan dirinya bagi istrinya, dan istrinya secara rela memberikan dirinya untuk suaminya, dengan demikian suami-istri saling memberi diri dan menyadari bahwa mereka menjadi milik pasangannya dan rasa saling memiliki diantara pasutri semakin kuat. Untuk dapat menjaga kesetiaan antara suami-istri seumur hidup memang bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu, pasangan suami-istri hendaknya senantisa melibatkan Allah dalam hidup perkawinan. Sebagaimana perkawinan merupakan pralambang dari cinta Allah kepada manusia, maka setiap perkawinan Katolik tidak dapat dipisahkan dari Sang Sumber Cinta, yaitu Allah. Meskipun demikian, dalam kenyataan tidak jarang diketahui ada beberapa pasutri yang mengalami permasalahan dalam perkawinannya, bahkan beberapa kasus sampai harus dibawa kepada pengadilan negeri untuk bercerai secara sipil. Lalu apa saja permasalahan yang sering mengancam perkawinan? Dikutip dari YOUCAT 264, terdapat beberapa ancaman dalam perkawinan berasal dari realitas dosa, antara lain: iri hati, cinta kekuasaan, kecenderungan untuk bertengkar, nafsu, perselingkuhan, dan kecenderungan unruk merusak lainnya. Dengan masuknya dosa dalam perkawinan yang suci, bagi sebagian pasangan menjadi sebuah ‘neraka’ yang sulit untuk mereka jalani. Oleh sebab itu, Gereja telah mempertimbangkan situasi-situasi sulit tersebut. Dalam KGK 1649 dituliskan bahwa, “Tetapi ada situasi, di mana hidup bersama dalam keluarga, karena alasan-alasan yang sangat bervariasi, praktis tidak mungkin lagi. Dalam keadaan semacam ini Gereja mengizinkan, bahwa suami isteri secara badani berpisah dan tidak perlu lagi tinggal bersama. Tetapi Perkawinan dari suami isteri yang berpisah ini tetap sah di hadirat Allah; mereka tidak bebas untuk mengadakan Perkawinan baru. Dalam situasi yang berat ini perdamaian merupakan penyelesaian yang terbaik, jika mungkin. Jemaat Kristen harus membantu orang-orang ini, agar dapat menanggulangi situasi hidup mereka ini secara Kristen dan dalam kesetiaan kepada ikatan Perkawinannya yang tak terpisahkan.” Secara sederhana hal yang diizinkan oleh Gereja adalah melakukan pisah ranjang yang diatur dalam KHK Kan. 1151-1155, bukan bercerai, sehingga perkawinan mereka tetaplah sah dimata Gereja. Walau demikian, Gereja tetap mengharapkan bahwa pihak yang tidak bersalah memberikan pengampunan dan berkenan menerima kembali pihak yang bersalah untuk hidup bersama kembali. Lalu bagaimana dengan umat Katolik yang bercerai secara sipil? Gereja tetap tidak mengakui perceraian yang telah dilakukan di luar Gereja dalam hal ini adalah perceraian sipil. Walau bagaimana pun apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apapun dan siapapun, kecuali oleh kematian. Sehingga, walau pasutri tersebut telah melakukan perceraian secara sipil dan dimata negara bukan lagi pasangan yang sah, bagi Gereja perceraian tersebut tidak dianggap dan tetap mengakui bahwa perkawinan mereka tetaplah sah. Apabila pasutri yang telah melakukan bercerai secara sipil dan menikah kembali dengan orang yang berbeda secara sipil, mereka berada dalam situasi yang bertentangan dengan hukum Allah, “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah” (Mrk 10:11-12). Dan akibat dari dosa tersebut adalah tidak diizinkannya menerima komuni kudus selama pernikahan yang kedua tetap berlangsung, dan jalan satu-satunya untuk bisa menerima komuni dengan rekonsiliasi dalam Sakramen Tobat ketika pelaku benar-benar menyesal dan bertobat. PEMBAHASAN Perkawinan dalam Gereja Katolik bukan hanya sebuah kewajiban atau suatu keharusan bagi umat Katolik, melainkan sebuah panggil untuk membangun Keluarga Katolik dengan spiritual Katolik. Dengan perkawinan yang dilangsungkan diantara pria dan wanita, menghadirkan Allah ditengah-tengah perkawinan tersebut. Perkawinan menjadi tanda atau lambang bahwa Allah sungguh-sungguh mencintai manusia. Oleh sebab itu, perkawinan dipandang sebagai suatu hal yang kudus, yang suci, dan membantu menjauhkan diri dari dosa, terlebih dosa nafsu birahi, haruslah mengikutisertakan Allah disetiap perjalanan berumah tangga. Bahkan dalam kitab Tobit, diceritakan bahwa Tobia dan Sara berdoa bersama meminta kepada Allah belas kasih-Nya dan perlindungan dari-Nya. Doa tersebut bebunyi demikian: “Terpujilah Engkau, ya Allah nenek moyang kami, dan terpujilah nama-Mu sepanjang sekalian abad. Hendaknya sekalian langit memuji Engkau dan juga segenap ciptaan-Mu untuk selama-lamanya. Engkaulah yang telah menjadikan Adam dan baginya telah Kaubuat Hawa isterinya sebagai pembantu serta penopang; dari mereka berdua lahirlah umat manusia seluruhnya. Engkau pun bersabda pula: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja, mari Kita menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Bukan karena nafsu berahi sekarang kuambil saudariku ini, melainkan dengan hati benar. Sudilah kiranya mengasihani aku ini dan dia dan membuat kami menjadi tua bersama. Amin! Amin!” (Tob 8: 5-8). Oleh sebab itu, perlulah pasutri meneruskan kebiasaan baik tersebut, yaitu berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri. Dengan berdoa, pasutri dapat melibatkan Allah dalam kehidupan perkawinan mereka. Namun tidak sedikit perkawinan yang terjerumus dalam kuasa dosa yang merusak kesucian dari pernikahan itu sendiri. Dalam realita kehidupan dosa yang paling sulit untuk mendapatkan ampun dari pasangan selama masa perkawinan adalah dosa akibat perselingkuhan atau perzinahan, sedangkan seperti yang diketahui bersama, bahwa perzinahan sendiri bertentangan dengan hukum Allah. Dengan adanya perselingkuhan dalam perkawinan tidak hanya merusak kesucian dari perkawinan, namun juga menimbulkan dosa-dosa lainnya seperti pertengkaran antara suami-istri, ketidakjujuran diantara mereka, serta menyakiti hati orang lain (pasangan dan bisa jadi menyakiti hati keluarganya). Oleh sebab itu, rekonsiliasi perlu dilakukan dalam kasus-kasus seperti ini. Namun, tidak bisa menutup mata bahwa kasus-kasus seperti ini membawa luka yang begitu dalam terhadap pasangan dan bahkan kepada anak-anak, jika sudah memiliki anak. Apabila pihak yang tidak bersalah merasa terlalu berat untuk bisa hidup bersama, ia boleh mengajukan pisah ranjang kepada otoritas setempat, namun Gereja tetap memiliki harapan agar pihak yang tidak bersalah mampu memberikan pengampunan terhadap pihak yang bersalah. Pasutri yang telah menikah dalam Gereja Katolik dan pernikahannya sah dimata Gereja akan tetap sah walaupun telah melakukan perceraian secara sipil (negara), dan pernikahan yang terjadi setelah perceraian secara sipil tidaklah sah dimata Gereja. Pernikahan dalam Gereja Katolik tidak dapat diceraikan kecuali oleh kematian (cerai mati). KESIMPULAN Perkawinan Katolik bukanlah sebuah kontrak kawin melainkan sebuah pernjanjian yang diucapkan oleh pasutri di depan Altar untuk sehidup semati dalam segala situasi. Perkawinan sendiri menjadi lambang cinta Allah kepada manusia yang tidak pernah ada habisnya. Perkawinan menuntut kesatuan antara suami dan istri, dengan membutuhkan sifat tak terceraikan dan kesetiaan dari pasutri yang pada akhirnya terbuka pada kesuburan pasutri. Namun, tidak jarang perkawinan terkontaminasi oleh dosa dan mengakibatkan perkawinan tersebut terancam keutuhannya, hingga menyebabkan pihak yang tidak bersalah meminta untuk hidup secara terpisah dengan pasangannya karena beratnya masalah yang dialami. Walau demikian, perkawinan mereka yang tetap sah tidak dapat diceraikan oleh apapun. Hal ini dikarenakan apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusia, kecuali oleh kematian. Daftar pustaka Konferensi Waligereja, Katekismus Gereja Katolik, Flores: Nusa Indah, 2014. Konferensi Waligeraja, Kitab Hukum Katolik, Jakarta: Obor, 2003. Konferensi Waligeraja Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2018. Konferensi Waligereja Indonesia, familiaris Consortio (Keluarga), Jakarta: Departemen Dokumentasi KWI, 2019 ________________, Youcat Indonesia Katekismus Populer. Jogjakarta: Kanisius, 2017. Suwito, Yohanes Benny, Kisah Perselingkuhan Gomer , 2019, URL: hidupkatolik.com/2019/11/11/41117/kisah-perselingkuhan-gomer.php, diakses pada 19 Agustus 2021 pukul 20.03 WIB.

Institut Teologi milik Keuskupan Surabaya yang berpegang pada Ajaran Gereja Katolik untuk memberikan pendidikan Teologi kepada para calon imam, awam dan religius. Sebagai Institut Teologi, Imavi bergerak pada pengembangan Pastoral, Katekese dan Liturgi